Kamis, 09 April 2009

KELOMPOK TANI

Tuhan tidak akan merubah nasib suatu “kaum” kalau kaum tersebut tidak berkeinginan untuk merubah nasibnya. Kaum disini diterjemahkan kelompok, jadi dengan berkelompok akan melipatkan kekuatan dan memepercepat gerakan karena ada penyatuan dan mengitegrasi kekuatan dan kelebihan dari anggota kelompok. Itu yang dikenal dengan filasafat “sapu lidi” pada budaya kita. Dengan satu lidi tidak ada yang bisa dibersihkan, tetapi kalau sudah menjadi sapu apa saja bisa dibersihkan, artinya lebih mudah mecapai tujuan.

Petani berkelompok memnurut pengamatan saya (bukan kajian ilmiah) dapat dibagi atas dua kelompok besar, yakni (1) kelompok tani yang timbul atas kesadaran sendiri dari suatu komunitas yang merasa ada persamaan nasib dan cita-cita dan digerakan oleh pemimpin (leader) pada kelompok tersebut, kelompok ini saya sebut Kelompok Tani Alamiah (KTA) (2) kelompok tani yang dipersamakan nasibnya oleh orang diluar komunitas tersebut, karena ada program tertentu yang akan dijalankan. Kelompok tani seperti ini berkembang semenjak ada program Bimas tahun 1968, dan terus berkembang dan menggejala sampai sekarang, baik yang digerakan oleh pemerintah, NGO, pihak perusahaan swasta dan lain sebagainya. Kelompok ini saya sebut Kelompok Tani Program (KTP). KTP ini digerakan oleh orang yang diluar komunitasnya seperti PPL, aktivis dan lain sebagainy.

Dalam perkembanggannya KTA lebih lestari, mandiri, berkembang apa lagi kalau ada sentuhan dari pihak luar kelompoknya seperti pemerintah. Namun program mereka dalam rangkan membangun kelompok belum tentu sejalan dengan program pemerintah, kalau programnya sama belum tentu program pemerintah tersebut terpenuhi persyaratannya oleh mereka. Sehingga mereka tidak diikut sertakan dalam program, atau dimodivikasi sejalan dengan program. Kelompok tani jenis ini diketahui dengan namanya “Kelompok Tani Desa …..” atau kelompok Tani (diberi nama tidak nama program).

Pada pedesaan monokultur, tidak banyak program pemerintah yang masuk, hanya satu atau dua program, tetapi pada desa polikultur, sangat banyak program yang masuk seperti pertanian pangan, perkebunan, perikanan, kehutanan, koperasi / perkreditan, PU, dan lain sebagainya, sehingga pada suatu desa banyak kelompok tani kecil-kecil sesuai dengan program yang masuk kedesa tersebut.

Kelompok tani yang berbasis program, kadang kala kelopok taninya, menghilang sesuadah program tersebut berakhir, dan akan timbul lagi kelompok tani baru kalau ada program baru. Kelompok tani ini sangat direkayasa oleh pihak yang punya program. Kelompok tani sejenis ini akan meudah diketahui dengan penamaannya, seperti kelompok peternak, kelompok tani karet, kelompok tani kerambah, kelompok tani kolam dan lain sebagainya. Karena sering hilang timbul kelompok tani ini juga dijuluki dengan dijuluki juga kelompok “tani burung merpati”. Pemimpin pada kelompok tani lebih sarat rekayasa dari yang punya program, dan bukan timbul dari kehendak anggota kelompok, kenadati ada juga terjadi hasil rekayasa sama dengan kehendak kelompok.

Masing-masing jenis kelompok ini punya kelebihan dan kekurangan, namun yang dikehendaki oleh pemerintah suatu program masuk pada suatu desa akan berlanjut terus, namun tidak mungkin pemerintah akan membantu terus pada desa tersebut, karena keterbatasan dana, personil, dan banyak desa yang akan dibangun. Dan diharapkan program yang sudah masuk tersebut akan dilestari dan dikembangkan oleh kelompok tani secara mandiri.

KTA alamaih sangat kuat hubungan dengan anggota, dan sangat familiar dengan budaya lokal dan lingkungannya. Barangkali program pemerintah yang masuk kedesa lebih fleksibel sehingga dapat diakomodasi oleh kelompok alamiah yang ada, sehingga di desa tidak bayak kelompok tani, yang ada satu kelompok tani, dengan sub kelompok yang disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga kelompok tani bisa bergerak dengan “innerpower” yang utama, sedangkan program pemerintah hanya sebagai stimulus saja, sehingga mereka benar-benar mandiri dan tidak sangat tergantuk pada pemerintah. Pemerintah hanya membantu apa yang tidak mampu dilakukan oleh masyarakat, karena kemampuan pemerintah terbatas, kebutuhan rakyat tidak terbatas, maka dalam pebanguanan dibutuhkan partisipasi masyarakat, jangan dibunuh kemandirian masyarakat dengan membuat mereka tergantun, jangan bunuh kreatifitas yang ada pada petani di pedesaan dengan program-program yang sulit mereka lakukan, kendati tujuannya sangat baik.

Peran PPL di pedesaan menjadi berbeda, dari orang yang mengajar petani, menjadi orang yang mendampingi petani, memberikan motivasi, menciptakan kreativitas, PPL sebagai konsultan teknologi, konsultan bisnis yang kreator, motivator, inovator dan fasilitator untuk hal tertentu. Semua keputusan ada pada petani atau kelompok tani, karena ia akan menanggung semua risiko, bukan PPL. Kelompok tani alamiah lebih bisa untuk hal ini.

Ingin saya tambahkan perlu dikaji ulang kata-kata penyuluh. Kata penyuluh dari kata suluh, suluh ada alat penerang yang dibuat dari ikatan daun kelapa kering yang dibakar. Tubuhnya terbakar untuk menerangkan alam. Kita tidak ingin penyuluh sengasara untuk mencerdaskan lingkungan.

Kata-kata penyuluh mulai berkembangan semenjak adanya program bimas, program yang “dipaksakan” kepada petani. Penyuluh masih dirasasakan oleh masayarakat “orang yang memaksakan program”, “memaksakan menggunakan teknologi” . barangkali penyuluh pertanian (PPL) diganti nama, diganti citra, ditingkatkan kemampuan. Nama yang paling tepat menurut saya adalah “Konsultan Agribisnis” atau pada zaman penjajahan Belanda disebut “lanbouw konsulen”, tetapi lebih mengarah pada konsultan teknologi, sedangkan konsultan agribisnis lebih luas dari lanbouw konsulen zaman penjajahan. Pendidikan dasar PPL dari SMK pertanian, dialnjutkan D III, konsultan pertanian dengan fokus pada D III adalah ilmu komunikasi dan bisnis, karena dasar teknik pertanian di SMK sudah cukup.

Dengan kualifikasi konsultan agribisnis seperti diatas akan mampu merubah kelompok tani ilmiah. Dan akan mampu membawa kelompok tani burung merpati menjadi kelompok tani mandiri, berdaya saing tinggi , maju dan berkembang. [ Dasril Daniel ]

Tidak ada komentar: