Minggu, 22 Maret 2009

Instrumen pengendalian ekspor karet diperlukan

JAKARTA: Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) meminta pemerintah menggunakan instrumen pengendalian ekspor karet sebagaimana yang diterapkan pada ekspor intan, menyusul adanya pelanggaran ketentuan pengurangan volume ekspor karet alam sesuai dengan kesepakatan International Tripartite Rubber Council (ITRC).

Direktur Eksekutif Gapkindo Suharto mengatakan terdapat eksportir asing yang melanggar alokasi ekspor yang sudah ditentukan dengan alasan pihaknya telah berinvestasi besar, sehingga pengurangan volume ekspor membuatnya merugi.

Sayangnya, Suharto enggan menuturkan secara terperinci eksportir yang dimaksud dan bentuk pelanggaran yang dilakukan secara spesifik, termasuk jumlah eksportir yang melanggar.

"Pada intinya eksportir yang dimaksud tidak mau dibatasi volume ekspornya. Kami sudah menegur tetapi tetap tidak diindahkan," kata Suharto kepada Bisnis, kemarin.

Gapkindo merupakan pihak yang ditunjuk pemerintah sebagai National Tripartite Rubber Council (NTRC) atau perwakilan ITRC Indonesia yang bertanggung jawab atas pelaksanaan ekspor dan industri karet dalam negeri.

Asosiasi itu akan melayangkan surat pengaduan kepada Departemen Perdagangan dan asosiasi eksportir karet di negaranya masing-masing terkait pelanggaran ini.

Menurut Suharto, pelanggaran ini berpotensi menimbulkan preseden yang jelek, sebab kesepakatan tersebut adalah kesepakatan tiga negara (ITRC). "Kalau ada yang melanggar kesepakatan ini, berarti dia melecehkan apa yang sudah disepakati oleh tiga negara," tegas dia.

Dia berpendapat pemerintah bisa menggunakan instrumen pengendalian dari Ditjen Bea dan Cukai untuk mengatasi permasalahan tersebut. Bea Cukai, lanjut dia, seharusnya diberi kewenangan untuk melarang eksportir yang mengirimkan barang di atas alokasi yang dibatasi.

"Sayangnya, Bea Cukai tidak diberi instrumen itu, sehingga kalau ada eksportir yang kirim dalam jumlah lebih dari batas yang disepakati, tidak bisa diapa-apakan. Padahal kalau dia punya instrumen itu, ketika volume sudah melampaui, eksportir tersebut tidak bisa impor lagi," tuturnya.
Oleh MARIA Y. BENYAMIN
Bisnis Indonesia
Sumber : http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A04&cdate=23-MAR-2009&inw_id=663696

Karet Tertahan USD1,25/Kg

Sunday, 22 March 2009
PALEMBANG (SINDO) - Kondisi pasar ekspor karet dunia masih stagnan sampai triwulan I/2009.Hal ini terlihat dari pergerakan harga jual karet yang tertahan di level USD1,20-1,25/kg.

Menurut Sekretaris Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Selatan (Sumsel), Awi Aman, harga jual ini masih jauh dari harapan awal USD1,35/kg. Meski sempat tercapai, namun harga kembali turun karena pembeli cenderung tak bereaksi membeli karet alam ekspor. “Harga sampai kini belum stabil karena target USD1,35/kg belum tercapai.

Memang sempat naik, tapi kemudian turun lagi sampai sekarang,” papar Awi Aman ditemui di kantornya belum lama ini. Kemungkinan, sedikitnya pembeli karet disebabkan stok yang dimiliki masih banyak. Hal ini,menurut dia,disebabkan pengurangan produksi saat krisis beberapa waktu lalu.Akibatnya,kebutuhan bahan baku menjadi tidak mendesak. Saat ini, rata-rata kebutuhan ekspor Sumsel hanya mencapai 45.000 ton/bulan. Angka ini susut jauh dari ekspor bulan-bulan normal sebanyak 50.000 ton/bulannya.

Meski begitu, beber Awi, kebijakan pengurangan ekspor yang diberlakukan pada akhir Desember 2008 lalu, dinilai belum berhasil mendongkrak harga jual karet, meski ekspor karet sudah dikurangi 18% atau 270.000 ton oleh tiga negara penghasil karet terbesar Indonesia, Malaysia dan Thailand. Saat ini, kata Awi, permintaan buyer utama karet alam dari Amerika Serikat, Eropa,China dan negara Asia masih sangat lemah. Hal ini terlihat dari catatan ekspor per bulan Sumsel yang selalu tak mencapai target. Bulan Januari 2009, misalnya.

Dari kuota ekspor yang disediakan sebanyak 45.369 ton, hanya terserap 37.792 ton saja atau 83,3%. Begitu pun pada Februari, dari kuota yang disediakan 56.725 ton, realisasi ekspor hanya sebesar 47.735 ton atau 84,15% dengan sisa stok berjumlah 25.922 ton. “Mulai April, pengurangan ekspor kita longgarkan dari 18% menjadi 12%.Walaupun belum stabil, tapi harga sudah lumayan karena sudah bertahan di atas USD1,20/kg karena semua pasar sepi, kecuali China yang masih bersemangat,” ungkap Awi menyambut baik pembatalan ketetapan Letter of Credit (LC) untuk komoditas karet.

Hanya saja, menyikapi krisis penjualan seperti ini, beberapa dari 24 anggota Gapkindo sudah melakukan pengurangan jam kerja meski tak sampai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Dia optimistis, memasuki semester kedua, harga karet bisa kembali bangkit seiring membaiknya kondisi ekonomi dari negara-negara buyer utama karet. “Mudah-mudahan, April ke depan,Amerika dan Eropa sudah bangkit lagi,” harapnya.

Melihat kondisi yang demikian, Ketua Gapkindo Sumsel Alex K Eddy yakin, omzet Gapkindo bakal merosot dibanding pencapaian tahun 2008 lalu sebesar USD4,9 miliar. “Besar pendapatan itu selama ini 85% digunakan untuk pembelian bahan utama karet alam petani. Sisanya,baru biaya produksi Gapkindo dan laba. Kalau pembelian bahan menurun, laba juga ikut turun,” tukasnya. (komalasari)

Sumber : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/223123/

Makanan Kecil Dari Biji Karet

Pada tanggal 9 Februari 2009, siswa-siswi SMA 2 Kandangan, Kalimantan Selatan berhasil mendapatkan penghargaan karya tulis ilmiah terbaik pada Lomba Karya Tulis Remaja tingkat Provinsi Kalimantan Sealtan dan Tengah yang diselenggarakan oleh FKIP MIPA UNLAM Banjarmasin. Hasil penelitianya adalah tentang makanan ringan dari biji karet.

Seperti diketahui, biji karet selama ini terbuang-buang saja di kebun karet, dan belum banyak dimanfaatkan, kecuali cangkang (kulit biji) untuk kerajian. Dan diketahui selama ini biji karet tersebut mengandung racun, kalau dimakan bisa menimbulkan pusing-pusing.

Tetapi di tangan remaja SMAN 2 Kandangan, Nova, Mifti dan Dwiky yang kreatif, biji karet tersebut dapat dijinakan, menjadi makanan ringan. Artinya bisa menjadi makanan selingan di daerah perkebunan karet, atau bisa jadi usaha sambilan penduduk.

Melalui yang teramati pada Reportese Sore Trans TV, tanggal 22 Maret 2009, pembutan makanan kecil itu melalui proses sederhana:
- Pecahkan cangkang, ambil isinya.
- Isi biji tersebut, direbus, minimal 2 (dua) jam untuk mengempukan dan mengeluarkan racun
- Hasil rebusan dihancurkan sampai halus dicampur bumbu.
- Bumbu antara lain, garam, cabe rawit, bawang dan yang lain.
- Hasil adonan dipihkan dan dijemur sampai kering
- Goreng dan sajikan

Biji karet mengandung karbohidrat, protein, dan lemak dan bisa dijadikan pakan ternak dan sumber bio-energi alternative yang dapat membantu masyarakat desa. Cangkang juga bisa digunakan juga untuk bahan bakar, baik melalui pengarangan maupun langsung.

Mungkin hasil penelitian tentang biji karet ini sudah banyak di berbagai laboratorium penelitian, tetapi tidak banyak terpublikasi, sehingga biji karet tidak banyak dimanfaatkan oleh masjarakat.

Kepada masyarakat yang ingin tahu lebih dalam tentang karya remaja tersebut, sebaiknya menghubungi SMA 2 Kandangan, Jl. Gambah Dalam No 40 Kecamatan Kandangan, Kalimantan Selatan

Kepada warga SMA 2 Kandangan khususnya siswa penelit Nova, Mifti dan Dwiky, saya mengucapkan selamat, lanjukan penelitianya, sehingga suatu saat makanan kecil dari biji karet tersebut bisa menjadi makan komersial, dan menjadi makanan khas dari Kandangan. Diman saja kita berkarya untuk diri, orang lain dan bangsa. (Dasril Daniel, Jambi 22 Maret 2009).

Rabu, 18 Maret 2009

Ubah Pola Pikir Petani Karet

JAKARTA: Pola pikir petani karet harus diubah dari petani produsen menjadi pemasok, sehingga dapat mengendalikan harga komoditas itu di pasar internasional.

"Selama ini, pola pikir petani karet adalah petani produsen dan tidak ada upaya untuk mengubah menjadi pemasok," ujar Sekjen Association of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC) Djoko Said Damardjati kepada Bisnis kemarin.

Menjadi produsen, katanya, membuat posisi tawar petani dengan konsumen sangat lemah. "Ini yang membuat harga jual karet petani kerap turun," ujarnya.

Menurut dia, hal tersebut tidak akan terjadi jika petani menjadi petani pemasok, dan berkumpul menjadi satu."Dengan demikian, pembeli tidak menjadi penentu harga," ujarnya.
Untuk mengubah hal itu, kata Djoko, pemerintah harus melakukan dua hal. Pertama, meningkatkan pendidikan dan pengetahuan petani agar mampu bernegosiasi. Kedua, meningkatkan kemampuan manajerial dan organisasi, sehingga petani dapat meningkatkan kekuatan bisnis dan menaikkan posisi tawar.

Lebih lanjut dia mengatakan pemerintah perlu memperkuat kelompok petani karet, baik masalah teknis maupun pemasaran, daya tawar, dan menjaga kualitas.

"Terbentuknya gabungan kelompok tani [Gapoktan] salah satu langkah yang baik dan bisa diarahkan sebagai kelompok ekonomi petani," ujarnya.

Djoko juga menginformasikan harga karet saat ini berada di kisaran US$1,4/kg untuk jenis TSR-20. Harga ini lebih rendah dibandingkan dengan harga Juni-Juli 2008 yang mencapai US$3.4/kg, harga tertinggi selama 50 tahun.

"Penurunan harga komoditas karet tidak terlepas dari anjloknya permintaan karet oleh industri ban," ujarnya.
Selama ini konsumen terbesar karet adalah industri ban yang mencapai 70%. Namun, saat ini permintaan turun mengingat terjadinya krisis ekonomi global yang juga menghantam industri otomotif.

"Perkiraan para ahli, harga karet di pasar internasional sepanjang 2009 masih akan tertekan," katanya.

Djoko memaparkan fluktuasi harga karet relatif tinggi antartahun. Pada 2005, harga karet mencapai US$1.68/kg, pada 2008 sebesar US$3.4/kg dan Februari 2009 hanya US$1.4/kg.
Oleh Diena Lestari, Bisnis Indonesia
Sumber: Bisnis Indonesia, 18 Maret 2009.

Selasa, 10 Maret 2009

Potensi Pasar Karet Masih Besar

Dorong industri berbasis sumber daya alam

JAKARTA: Association of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC) mengusulkan agar Indonesia memanfaatkan potensi pasar karet di Tanah Air yang lumayan besar untuk menyiasati lesunya pasar ekspor.

"Pemerintah perlu mendorong pemanfaatan pasar dalam negeri untuk mencari celah di tengah lesunya ekspor karet alam di pasar dunia akibat krisis ekonomi global," kata Sekjen ANRPC Djoko Said Damardjati saat dihubungi Bisnis, kemarin.

"Pasar karet di Indonesia, produsen karet alam terbesar kedua di dunia setelah Thailand, sangat potensial," tuturnya yang tengah berada di Kuala Lumpur, Malaysia.

Menurut dia, jika pemerintah dapat mendorong konsumsi di dalam negeri untuk produk lokal berbasis karet, maka industri dalam negeri akan tumbuh.

Djoko mencontohkan kebutuhan bahan baku karet untuk diproduksi sebagai ban kendaraan bermotor sangat besar. Selain itu, pengembangan industri nonban yang tetap menggunakan karet sebagai bahan baku juga masih besar a.l. pembuatan kasur (matras), alas sepatu, isolasi listrik, dan sarung tangan karet.

Dorong industri
Djoko menilai saat ini langkah yang mendesak untuk dilakukan adalah munculnya kebijakan yang mendorong industri berbasis sumber daya alam domestik. Caranya dengan pemberian insentif, fasilitas dan regulasi jangka panjang yang memberi ruang kepada industri pengolahan produk pertanian. Termasuk untuk masuk ke pasar dunia.

"Sangat disayangkan industri karet di Indonesia saat ini belum masuk lingkaran kelas dunia. Padahal, Indonesia merupakan produsen besar kedua setelah Thailand," keluhnya.

Dia menyatakan strategi kebijakan pengembangan industri karet sudah berhasil dilakukan di Malaysia. Pemerintah Malaysia selama ini berupaya mendorong pertumbuhan industri sarung tangan karet dan produk turunannya.

"Waktu saya berjumpa dengan pengusaha sarung tangan Malaysia, mereka mengatakan pengaruh resesi ekonomi dunia terhadap industri ini sangat kecil. Masalah harga dan jumlah permintaannya tidak berpengaruh karena pasarnya sangat spesifik seperti rumah sakit," paparnya.

Terkait dengan kondisi karet alam di Indonesia, Djoko menegaskan, peluang pasar di dalam negeri sangat besar. "Yang penting, pemerintah fokus dalam mengambil keputusan. Terutama dalam pengembangan industri karet alam di Tanah Air," ujarnya.

Pada kesempatan itu, Djoko menyatakan, akibat krisis global hingga 2010 diprediksikan permintaan karet di pasar Amerika Serikat tidak bertambah dan justru stagnan."Hal itu mengakibatkan penurunan harga komoditas ini," ujarnya.

Sebelumnya, Indonesia dan Malaysia melakukan pembahasan dan langkah bersama untuk memperkuat harga komoditas, terutama minyak sawit dan karet dengan mengelola stok di pasar serta menurunkan pasokan dengan program peremajaan tanaman.

Menteri Pertanian Anton Apriyantono dan Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Peter Chin Fah Kui melakukan pertemuan bilateral di sela-sela acara pertemuan tingkat menteri negara-negara berkembang (D8) mengenai keamanan pangan di Kuala Lumpur, Malaysia bulan lalu.

Kedua negara melakukan langkah bersama guna memperkuat harga minyak kelapa sawit dan karet yang terkena krisis ekonomi global karena kedua negara ini menguasai 85% produksi minyak sawit dunia dan 40% produksi karet alam dunia.

Anton Apriyantono dan Peter Chin sepakat mengambil langkah bersama terhadap komoditas kepala sawit dan karet alam.

Kedua negara kini melakukan langkah bersama untuk mempercepat program peremajaan tanaman karet yang bertujuan mengelola pasokan karet alam.

Malaysia telah merevisi target peremajaan pohon karet dari 32.000 ha menjadi 50.000 ha pada 2009. Indonesia mentargetkan program peremajaan 55.000 ha pada 2009. Langkah kedua negara ini diperkirakan menurunkan produksi 115.000 ton termasuk 60.000 ton dari Malaysia dan 55.000 ton dari Indonesia. (diena. lestari@bisnis.co.id/martin.sihombing@ bisnis.co.id)

Oleh Diena Lestari & Martin Sihombing
Bisnis Indonesia
Sumber: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A29&cdate=11-MAR-2009&inw_id=661182

Jumat, 06 Maret 2009

PETANI JAMBI KE THAILAND ?

ZULKIFLI AJAK PETANI KARET JALAN-JALAN KE THAILAND… SIAPA MAU IKUT ?

SAROLANGUN - Meski dinilai tak berhasil, Pemprop Jambi “ngotot” mempertahankan program replanting karet. Program ini dipertahankan Pemprop, dengan alasan demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Diakui Gubernur Jambi, program yang digulirkan Pemprop Jambi diawal tahun 2006 itu, sempat mendapat tantangan dari berbagai unsur, mulai dari alam hingga politik.

“Tapi tetap kami pertahankan hingga saat ini demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat,” ujar Gubernur Jambi, Drs H Zulkifli Nurdin, saat melakukan peninjauan dan temu wicara dengan para petani dan penangkar karet se-Kabupaten Sarolangun di Desa Bukit Kecamatan Pelawan Kabupaten Sarolangun, Kamis (5/3).

Meski begitu, Bang Zul merasa bersyukur, program tersebut pada tahun 2007 dan 2008 bangkit kembali. Bahkan, di tahun 2009 ini diupayakan lebih banyak lagi. “Dan untuk tahun 2010 akan diminta kepada Dinas Perkebunan untuk melipat gandakan program replanting karet ini dari tahun sebelumnya,” tegas Gubernur.

Tidak itu saja, untuk meningkatkan program replanting karet ini, Gubernur berjanji akhir tahun 2009 akan mengajak beberapa petani karet ke Thailand untuk mengetahui dan belajar tentang tata cara bertani karet disana. “Di Thailand, setiap satu hektarnya bisa menghasilkan karet dua setengah kali lipat dari hasil karet kita,” kata Gubernur.

Bupati Sarolangun H Hasan Basri Agus dalam sambutannya mengatakan, perkebunan karet di Kabupaten Sarolangun mencapai luas lebih kurang 117.993 Ha dengan rincian tanaman belum menghasilkan seluas 30.934 Ha, tanaman menghasilkan seluas 58.910 Ha dan tanaman rusak atau tanaman tua seluas 28.149 Ha.

Pemerintah Kabupaten Sarolangun, kata HBA, dari tahun 2001 hingga sekarang secara terus menerus mengangarkan dana melalui APBD II yang didukung dana APBD I dan APBN, sehingga perkebunan karet rakyat yang telah diremajakan telah mencapai 20,49 persen atau setara dengan 24.179 Ha dari total luas kebun karet 117.993 Ha.

“Pada tahun 2009 ini kembali dianggarkan dana pengadaan bibit untuk peremajaan areal seluas 2000 Ha,” katanya. Bupati juga menyampaikan terima kasihnya pada Gubernur Jambi, yang telah membantu melalui dana APBD I. (infojambi.com/RELEASE HUMAS)
Sumber : www.infojambi.com , (Jambi, 7 Maret 2007

Kamis, 05 Maret 2009

KOPERASI BERBISNIS BOKAR

TANGGAPAN UNTUK PERTANYAA SAUDARA IR. SARJONO

Ada pertanyaan dari saudara Ir. Sarjono dari Kabupaten Tebo, tentang Koperasi dan pasar lelang karet yang disampaikan kepada saya melalui SMS, yang pertanyaannya sebagai berikut:

Pasar lelang karet umumnya dikelola oleh koperasi, sementara pembelinya adalah perpanjangan pabrik juga. Kalau koperasi yang bersangkutan juga sebagai pembeli (tinggal bagaimana koperasi yang bersangkutan bermitra dengan pabrik). Adakah meningkatkan posisi tawar petani, tolong tanggapannya Pak Venchses. Tq.

Pertanyaan yang menarik, bisa jadi wacana kita semua, maka saya tidak menjawab melalui e-mail dan tidak mungkin dijawab memelalui SMS, karena uraiannya panjang, dan saya meminta izin kepada saudara Sarjono untuk menjawab melalui blog ini, dan saudara Sarjono menyetujuinya.

Perdagangan karet / bahan olah karet (bokar) adalah perdagangan bebas, jadi siapa saja boleh berdagang karet. Pemasaran karet dari petani bisa melalui pedagang pengumpul, koperasi atau kelompok tani yang bermitra dengan industri pengolahan, bisa langsung dan bisa juga melalui pasar lelang. Pilihannya adalah yang terbaik bagi petani yang bersangkutan.

Pemerintah membangun dan mengembangkan pasar lelang adalah untuk menciptakan pasar yang kompetitif, transparan sehingga terjadi pencitaan harga yang wajar, peningkatan mutu, merasionalkan panjang rantai tata niaga. Dan hal ini telah terjadi diberbagai pasar lelang karet di pedesaan. Kalau kita mau menjelajah di internet dengan pertolongan “Mbah Google” kita dapat mengetahui pasar lelang karet di pedesaan telah memberi manfaat kepada petani dengan perbaikan harga dan diikuti dengan perbaikan mutu. Dalam membandingnya tentu dengan harga karet yang terjadi diluar jangkauan pengaruh pasar lelang pada hari yang sama atau berdeketan dan pada tingkat mutu yang hampr sama pula.

Koperasi bisa saja membeli karet petani, baik langsung kepada petani atau melalui pasar lelang, tidak jadi masalah dan baik-baik saja, dan kemudian bermitra dengan industri pengolahan atau menjual di pasar bokar, kalau di kota Jambi, adalah pasar karet Payoselincah.

Masalahnya adalah, harga karet ditentukan oleh keadaan harga hari itu, mutu dalam hal ini kadar air dan kotoran, disini menjadi perdagangan karet menjadi lebih rumit dari berdagang komoditi pertaniaan lainnya. Kotoran ada didalam barang, sedang komoditi lain tidak. Kadar air bisa sangat cepat berubah terutama kalau kadar air bokarnya tinggi. Kemudian kalau zat pembeku karet (koagulan) yang digunakan petani bahan tertentu, pedagang yang tidak berpengalaman bisa tertipu, disangkan karet itu kering, ternyata kadar airnya tinggi dan tertahan pada gelembung-gelembung pada slab tersebut.

Jadi untuk menjadi pedagang bokar, harus banyak pengalaman, teliti dan jeli melihat perkembangan pasar. Pada pedagang pengumpul tradisonal karier pedagang tersebut bergerak dari tukang timbang, lama-lama menjadi pedagang, di industri pengolahan juga begitu, dari tukang timbang dan magang bertahun-tahun baru menjadi penaksir mutu dan penetap harga. Mencari orang seterampil itu tidak mudah. Pada industri pengolahan karet bagian pemebeli umumnya tidak ditunjuk oleh menejer atau direktur, kebanyak ditunjuk oleh pemegang saham utama, sedangkan direktur tidak bisa apa terhadap penujukan bagian pemebelian.

Umunya diperusahaan yang menjadi jantung perusahaan adalah bidang pemasaran, di industri karet yang menjadi jantung adalah bagian pembeli bahan baku, oleh sebab itu di tunjuk oleh pemilik (owner), bukan oleh direksi, ini keunikan karet satu lagi.

Resiko pergerakan harga yang sering diluar dugaan, bisa terjadi waktu membeli harga mahal, waktu menjual harga anjlok, terjadi kerugian. Koperasi adalah usaha modal bersama, kalau terjadi kerugian, sang menejer perniaagaan karetnya akan dimaki bersama-sama oleh anggota. Atau kejadian salah taksir, sehingga menimbulkan kerugiaan juga akan mendapat umpatan yang sama, dan akan dicurigai sebagai tidak jujur, kendati mencari orang jujur sekarang sulit. Jadi sangat riskan kalau koperasi berdagang bokar, sebaiknya memfasilitasi saja, dengan mengadakan pasar lelang, anggota terbantu, ada sedikit SHU dan tanpa resiko bisnis.

Banyak koperasi yang bangkrut karena berdagang dan mengolah karet di Provinsi Jambi, tidak etis saya menyebutnya di media public ini, tetapi banyak koperasi hamper bangkrut menjadi berkembang karena mengelola pasar lelang karet, yang sampai sekarang sudah dua puluh tahun mengelola pasar lelang.

Kemungkinan kemitraan antara industry adalah kelompok tani dengan industri pengolahan, dengan persayaratan tertentu, yakni disiplin dalam pengolahan dengan metoda yang sama, karet bersih tanpa kotoran dan taat kepada kesepakatan. Kemitraan ini bisa lestari bertahun-tahun, tidak banyak tetapi ada, contoh nyata adalah kelompok tani yang diketuai oleh Pak Kliwon, Kabupaten Muaro Jambi, kelompok tani yang akan bermitra dengan industri saya sarankan magang dengan Pak Kliwon, dan dibimbing oleh beliau dan beliau bisa sebagai penjamin bagi industry, karena taat kesepakatan, disiplin, konsisten dan sangat dipecaya oleh anggotanya dan industri. Sekarang sudah ada kelompok tani yang dibina dan dijamin oleh Pak Kliwon. Pak Kliwon membina dengan bahasa petani adan bahasa bisnis yang sangat dimengerti oleh petani, Pak Kliwon membina dengan contoh nyata yang bisa diadopsi oleh petani, Pak kliwon membina tidak pakai bahasa birokrasi yang tidak dimengeti oleh petani dan dunia usaha. Kalau untuk kemitraan Guru Besarnya adalah Pak Kliwon, tidak ada yang lain di Provinsi Jambi, setahu saya.

Kesimpulannya adalah, saya menyarankan tidak usah koperasi ikut dalam berdagang karet, resikonya sangat tinggi, sebaiknya yang bermitra adalah kelompok tani yang bisa menciptakan mutu baik, homogen, konsisten, taat akan kesepakatan kemitraan. Koperasi cukup memfasilitasi pasar lelang saja, sudah member kontribusi pada peningkatan pendapatan anggota dan petani sekitarnya.

Saudara Sarjono, inilah jawaban dari pertanyaan Anda, semoga tercapai yang saudara inginkan, dan bermanfaat bagi kita semua, masyarakat perkaretan di Indonesia. Banyak maaf, Terima kasih (Dasril Daniel, Jambi, 5 Maret 2009)