Kamis, 30 April 2009

Ekspor Karet RI Jauh di Dibawah Kuota

ITRC tidak berwenang beri sanksi


JAKARTA: Eksportir karet mengurangi volume ekspor selama kuartal I/2009 sebanyak 197.423 ton atau 170% dibandingkan dengan kesepakatan dengan tiga negara anggota ITRC sebanyak 116.000 ton.

Dengan demikian, volume ekspor selama kuartal I lebih rendah dari target sebelumnya.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Suharto Honggokusumo mengatakan selama kuartal I/ 2009, pengurangan volume ekspor karet telah melebihi kuota yang telah disepakati oleh International Tripartite Rubber Council (ITRC).

"Kami [Gapkindo] telah mengurangi volume ekspor karet. Kalau tidak mematuhi itu [pengurangan volume ekspor], maka akan dimarahi ITRC, karena telah menjadi kesepakatan bersama," ujarnya kepada Bisnis, kemarin.

Menurut Suharto, berdasarkan kesepakatan ITRC, Indonesia dapat mengekspor karet selama semester I tahun ini sebanyak 499.459 ton, tetapi realisasi ekspor hanya 418.037 ton. Hal itu disebabkan pengurangan yang dilakukan melebihi kuota yang telah diberikan ITRC.

Indonesia, Thailand, dan Malaysia yang tergabung dalam ITRC telah membuat kesepakatan pengurangan volume ekspor karet alam selama 2009 sebesar 915.000 ton atau 16% dari total ekspor 2008.

Program pengurangan ekspor itu dimaksudkan untuk menjaga stabilitas harga.

Total pengurangan sebesar 915.000 ton terdiri dari 700.000 ton melalui skema kesepakatan ketiga negara (Agree Export Tonnage Scheme/AETS), sedangkan 215.000 ton sebagai dampak dari peremajaan pohon karet dengan penebangan karet yang dinilai telah tua dan tidak produktif lagi.

Menurut Suharto, pengurangan kuota ekspor tersebut bertujuan menyeimbangkan pasokan sehingga harga tidak jatuh dan diharapkan stabil.

Tanpa sanksi
Berbeda dengan data Gapkindo, Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Departemen Perdagangan Yamanah A.C. mengatakan program pengurangan volume ekspor karet selama kuartal I terealisasi hanya 66% atau 76.560 ton.

"Harga karet kan mulai membaik. Jadi tidak masalah untuk mengekspor dalam jumlah besar. Tidak ada sanksi dari kesepakatan ITRC," ujarnya.
Menurut Yamanah, pengurangan volume dilakukan untuk menjaga agar harga tidak anjlok, sehingga saat harga mulai membaik, para eksportir agar melakukan pengapalan.

Dia menambahkan tidak ada sanksi dari kesepakatan ITRC, karena hanya bersifat imbauan dan kesadaran masing-masing negara untuk menjaga harga karet di pasar internasional tetap stabil.

Ekspor karet ketiga negara akan dikurangi sebanyak 270.000 ton atau 38,7% dari AETS selama kuartal I/2009. Kuota ekspor karet dari Indonesia dikurangi sebesar 116.000 ton selama kuartal I/2009, sedangkan Malaysia harus memangkas sebanyak 22.000 ton dan terbesar dari Thailand sebesar 132.000 ton.

Suharto tidak mengetahui realisasi pengurangan volume ekspor yang dilakukan Malaysia dan Thailand.


Harga karet saat ini, kata dia, telah mencapai US$1,58 per kg. Menurut dia, harga karet naik mulai awal bulan ini dari harga pada akhir Maret yang masih US$1,37 per kg.

Kenaikan harga minyak mentah dunia, kata dia, akan berpengaruh terhadap menguatnya harga karet di pasar internasional dan sebaliknya.

Suharto menambahkan faktor lain yang menyebabkan penguatan harga karet adalah program pengurangan volume ekspor yang dilakukan ITRC.

Suharto menilai naiknya harga karet pada pekan lalu juga terpengaruh gejolak politik Thailand sebagai produsen karet terbesar.

Gejolak politik di Thailand, katanya, dikhawatirkan mengganggu ekspor karet dari negara itu, karena negeri itu merupakan negara produsen karet terbesar.

Dirjen Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan Diah Maulida menuturkan kesepakatan ITRC tersebut merupakan instrumen yang sifatnya sementara saja, sehingga kesepakatan tersebut akan terus dikaji dengan melihat perkembangan harga karet di pasar internasional. (19) (redaksi@bisnis.co.id)
Sumber : Bisnis Indonesia

Tidak ada komentar: