Sabtu, 09 Oktober 2010

FENOMENA PLAGIRISME

Pertengahan bulan Februari 2010 masyarakat dihebohkan oleh berita seorang guru besar melakukan penjiplak (plagiat) karya imiha orang lain di Bandung, dan disebut-sebut pula dua orang calon professor di Yogyakarta sedang pula diteliti / diklarifikasi karya ilmiahnya, karena ada kecurigaan karya itu hasil penjiplakan.
Banyak komentar di banyak media sahut menyahut, banyak pakar berbicara tentang plagiarisme, kendati akhir-akhir ini komentar tersebut telah boleh berkurang, inti dari komentar itu adalah semuanya mengutuk penjiplakan dilakukan oleh para pakar / dosen / peneliti termasuk tentunya oleh sang guru besar, tetapi bagai mana plagiarisme yang dilakukan oleh masyarakat yang lain, apakah dihalalkan?
Plagiarism menggambarkan sesuatu perilaku yang tidak jujur dilakukan oleh sang guru besar, artinya guru besar, dosen, pakar, peneliti harus jujur, mahasiwa dan pelajar sebagai calon ilmuwan tentu harus jujur dan didik harus jujur pula. Sebaliknya akan timbul pertanyaan apakah sang guru besar itu selama pendidikannya melakukan kejujuran dan didik jujur dengan baik atau tidak, sehingga ia berlaku tidak jujur. Apakah selama mengajar di perguruan tinggi mendidikan kejujuran kepada mahasiwanya.
Ketidak jujuran yang terjadi di negeri ini sudah merupakan wabah pendemi yang telah merasuki banyak orang dan disemua sisi kehidupan apakah mereka dosen, politisi, penegak hukum, pejabat birokrasi, pengusaha, petani, pelajar , petani, nelayan, orang kota, orang desa, dan lain-lain bahkan tokoh agama pun sudah ada yang berperilaku tidak jujur. Hampir semuanya melalui jenjang pendidikan terutama pendidikan dasar, dan sebagian dari mereka itu juga dari perguruan tinggi, artinya lemabga pendidikan kita tidak berhasil menciptakan orang jujur. Dari sisi ini guru murid, dosen dan mahasiwa sudah sama-sama tidak jujur. Tidak mungkin dosen atau guru yang tidak jujur mendidik kejujuran kepada marid dan mahasiwanya, sepaling tinggi adalah mengajarkankan kejujuran, tetapi tidak didikan.
Ketidak jujuran di lembaga pendidikan juga tidak berdiri sendiri, karena ketidak jujuran yang berkembang dimasyarakat merangsang ketidak jujuran di lembaga pendidikan, hal ini bisa dipahamami masayarakat dan lembaga pendidikan itu saling mempengaruhi, lembaga pendidikan bagian dari masyarakat, elite dan orang awam jebolan lembaga pendidikan.
Paradoknya adalah orang membutuhkan orang lain untuk berlaku jujur kepadanya, kepada orang lain tidak terlalu peduli. Sesorang tidak senang ditipu atau diperlakukan oleh orang lain, kendati ia sebagai penipu. Kejujuran itu diperlukan oleh semua orang. Dengan kejuran konflik antar manusia akan sangat berkurang, karena salah satu sumber konflik adalah ketidak jujuran.
Dampak Ketidak Jujujuran
Akan timbul pertanyaan apa dampak ketidak jujuran dan berapa besar dampak tersebut yang mengerogoti hidup kita, dan berapa besar pula biaya ekonomi dan biaya sosial yang diakibatkan oleh ketidak jujuran tersebut, secara kuantitatif akan sulit sekali menjawabnya, secara kualititatif secara gamblang akan mudah menjawabnya yakni hidup semakin sempit karena aturan dan pengawasan semakin banyak melilit kehidupan dan merampas kenyamanan hidup.
Karena semua orang menghendaki orang lain jujur, ketidak jujuran juga sudah merampok hak kita, maka dibuat berbagai undang-undang dan aturan agar semua orang, semua warga bangsa berlaku jujur, semakin hari semakin banyak saja aturan di masyarakat sehingga hidup sangat dibatasi oleh serba aturan.
Karena tidak banyak orang jujur, dan aturan yang dibuat itu harus ditegakan dengan sanksi, maka harus pula ada pengawas, perlu jaksa, polisi, hakim, inspektorat, lembaga-lembaga pengawasan, sehingga hidup ini diawasi terus oleh orang lain, pengawas diawasi, pemerintah diawasi DPR, DPR diawasi rakyat, rakyat diawasi pemerintah, saling mengawasi hidup bertambah tidak nyaman. Pengawasan bukan hal yang gratis, pengawasan itu ada biayanya, berapa pula negara yang mengeluarkan anggaran untuk pengawasan akibat ketidak jujuran tersebut, barang kali ada 20 persen anggaran negara untuk pengawasan yang bertebaran di berbagai lembaga negara. Kalau lah bangsa ini berlaku jujur dan mau ikut aturan dengan jujur, biaya pengawasan akan dapat ditekan, sisanya dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tetapi ini suatu otopi saja barang kali.
Membangun Kejujuran
Apakah bangsa ini bisa ditingkatkan kejujurannya, karena kalau memperhatikan uraian diatas, serasa tidak mungkin, karena mewabah kemana-mana.
Kejujuran dibangun dengan membuat aturan-aturan, hasilnya adalah terlalu banyak aturan, terlalu banyak pengawas, hidup menjadi tambah susah, terbuka peluang ketidak jujujuran, terjadi ketidak jujuran ber jamaah, terkenal dengan korupsi berjamaah, mafia (kejahatan terorganisasi, ilegal loging, fishing dan mining, mafia hukum, penyeludupan besar-besaran dan lain sebagainya. Jadi membangun kejujuran dengan aturan membuat ketidak jujuran semakin berkembang.
Manusia ada pubta rasa iman kepada Tuhan, atau dapat dikatakan adanya rasa takut kepada Tuhan apapun agamanya. Barang kali meningkatkan keimanan seseorang akan dapat membuat orang takut untuk tidak jujur karena takut akan dosa. Jadi pendidikan agama ditingkatkan lagi, diberi waktu yang cukup disekolah, ada penugasan wajib beribadah di rumah ibadah. Dua dasa warsa terakhir ini pendidikan agama asal ada saja, tidak pelajaran pokok, berapapun nilainya tidak menjadi masalah dan tidak diuuji di ujian nasional.
Kedua, membangkitkan rasa malu berbuat salah, artinya orang yang pernah berbuat salah harus dipermalukan, kendati sudah dihukum, ada hukuman sosial, gejala dua dasa warsa terakhir ini, agak berbeda kita seringga membanggakan koruptor, menyambut koruptor sebagai pahlawan, setiap ada penamgkapan koruptor, dibuat seolah-olah itu politisasi kepada sang pejabat.
Rumah tangga sangat penting dalam pendidikan moral, etika adan agama, pendidikan etika di rumah tangga lebih tertuju pada tata pergaulan, bagaimana bekomunikasi dengan orang lain, etika berpakaian, etika makan dan lain sebagainya, tetapi jauh lebih penting adalah pendidikan moral, sehingga dirumah becara moral, begitu juga di tempat ibadah, sekolah dan masyarakat.
Pendidikan bukan sekadar pengajaran, pendidikan adalah dengan kegiatan dan contoh nyata. Kendati sulit kalau pendidikan moral menjadi kegiatan bersam, satu generasi akan menjadi bangsa yang jujur. Semoga. [Jambi, 3 Maret 2010]***